Pages

Senin, 08 Juli 2013

Riwayat Abu Yazid Thaifur bin Isa Syurusyan al-Bisthami

Riwayat Para Sufi
Riwayat hidup Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Syurusyan al-Bisthami
Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Syurusyan al-Bisthami termasuk Sufi yang masyhur, tetapi pendapat-pendapatnya sering kontroversial, sehingga banyak orang yang mengecamnya.

Dialah tokoh paling unik dalam jagat mistik Islam. Kehidupannya banyak diliputi keistimewaan bak dongeng. Ia hidup sezaman dengan sufi besar Al-Hallaj di abad ke-9 Mesehi atau ke-3 Hijriyah. Meskipun pendapatnya sering kontroversial, sehingga memancing banyak kecaman, ia adalah salah seorang tokoh yang menjadi tonggak sejarah tasawuf dalam Islam. dialah Abu Yazid Al-Bisthami, sufi penemu istilah-istilah tasawuf yang disebut Ittihad (bersatunya pribadi dengan Allah), Fana (leburnya pribadi dengan Allah), Baqa (keabadian sifat-sifat Allah dalam Pribadi).

Dilahirkan dengan nama Abu Yazid Thaifur bin Isa bin Syurusyan al-Bisthami di Desa Bustham, persia (Iran) sebelah timur laut. Di sana pula ia wafat pada tahun 261 H / 874 M atau 264 H / 877 M. Tanggal dan bulan kelahirannya tidak ada yang mencatat, sebab perjalanan riwayat hidupnya memang sangat sulit dilacak. Yang ada hanyalah beberapa catatan klasik yang terserak-serak. Diantaranya dalam kitab Tadzkirul Awliya karya Fariduddin Aththar, dan Kasyful Mahjub karya Al-Hujwiri. Tetapi justru sedikitnya catatan itu malah menjadikannya sebagai tokoh legendaris.

Ia adalah pioner aliran ekstatik (mabuk) dalam sufisme. Ia dikenal karena keberaniannya dalam mengekspresikan peleburan mistik menyeluruh kepada ketuhanan. Ia sangat sangat mempengaruhi imajinasi para sufi yang hidup sesudah masanya.

Seperti ulama atau sufi lainnya, sejak kacil Yasid sangat tekun mendalami ilmu agama. Dukungan moral ibunya mendorong motivasi Abu Yazid untuk menuntut ilmu lebih tinggi. Ada cerita menarik tentang masa kanak-kanaknya, sang Ibu pernah bercerita, “Ketika ia masih dalam kandungan, aku sering menyuap makanan yang aku ragukan halalnya. Ketika itulah Yazid yang masih dalam kandungan memberontak sebelum aku muntahkan makanan haram itu.” Ibunya memang seorang muslim yang shalihah.

Mengenai sang Ibu yang sangat ia hormati itu, Abu Yazid pernah berkata ”Kewajiban yang kukira paling sepele di antara kewajiban lainnya, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama, yaitu berbakti kepada Ibu. Dalam berbakti kepada Ibu itulah, kuperoleh yang segala kucari, segala sesuatu yang bisa kupahami lewat tindakan disiplin dan pengabdian kepada Allah.” Ayahnya juga seorang muslim yang saleh, sementara kakeknya penganut Zoroaster (paham yang mengajarkan menyembah Dewa Api) yang belakangan memeluk Islam.

Suatu malam, ibu memintaku untuk mengambilkan air minum, aku bergegas mengambilkan air minum untuk beliau. Namun ta ada air di teko, kemudiaan aku ambil kendi, tapi kendi itu juga kosong. Maka aku pergi kesungai untuk mengisi kendi dengan air. Ketika aku kembali ke rumah, ibuku ternyata telah tertidur kembali.”

Malam itu udara sangat dingin. Aku memegang teko dengan tanganku. Ketika ibu terbangun, ia pun minum dan mendoakanku. Lalu ia melihat bahwa teko itu membuat tanganku membeku karena kedinginan.

“Mengapa tidak engkau letakkan saja teko itu?” tanya ibuku.

“Aku takut kalau ibu terbangun, aku tidak di sisi ibu,” jawabku.

“Biarkan pintu setengah terbuka,” kata ibuku kemudian.

Sepanjang malam aku terjaga untuk memastikan bahwa pintu kamar ibuku setengah terbuka, karena aku tidak boleh mengabaikan perintahnya.

Suatu hari, di sekolah, gurunya menjelaskan makna salah satu ayat di Sura Luqman: “Bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada kedua orang tuamu” Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid.

Guru,” katanya seraya meletakkan buku catatannya, “Izinkahlah aku pulang dan mengatakan sesuatu pada ibuku.” Gurunya mengizinkan Abu Yazid pulang untuk menemui Ibunya.

“Ada apa Thaifur,” pekik ibunya. “Mengapa engkau pulang? Apa mereka memberimu hadiah, atau ada acara khusus?”

“Tidak,” jawab Abu Yazid. “Pelajaranku telah sampai pada ayat dimana Allah memerintahkan aku untuk mengabdi kepada-Nya dan kepada ibu. Aku tidak akan sanggup melaksanakan keduanya sekaligus. Ayat ini menggetarkan hatiku. Hanya ada dua pilihan: Ibu memintaku dari Allah agar aku dapat menjadi milik ibu sepenuhnya, atau ibu menyerahkanku kepada Allah agar aku dapat sepebuhnya bersama-Nya.”

“Anakku, aku serahkan dirimu kepada Allah, dan membebaskanmu dari kewajibanmu kepadaku,” kata ibunya. “Pergilah dan jadilah milik Allah.”

Abu Yazid yang tidak jemu-jemunya menuntut ilmu, tak pernah pandang siapa gurunya, konon, ia berguru kepada sekitar 113 orang  sebagian baesar guru spritual. Sebelum mempelajari ilmu tasawuf, ia belajar fikih madzhab Hanafi. Diantara guru yang paling utama adalah Abu Ali Sindi, yang memang banyak mempengaruhi ajaran-ajaran tasawufnya di belakang hari.

Di antara mereka ada yang dijuluki As-Shadiq. Abi Yazid sedang duduk ketika gurunya itu tiba-tiba berkata, “Abu Yazid, ambilkan aku kitab dari jendela itu.”

“Jendela, jendela yang mana?” Tanya Abu Yazid. Gurunya balik bertanya,

“Selama ini engkau selalu datang ke sini, dan engkau tidak pernah melihat jendela itu?”

“Tidak pernah,” jawab Abu Yazid. “Apa urusanku dengan jendela? Ketika aku berada dihadapanmu, aku menutup mataku dari hal-hal lain. Aku datang kepadamu bukan untuk melihat-lihat.”

“Kalau begitu,” kata sang guru, “Pulanglah ke Bistham, usahamu telah sempurna.”

Gagasan Tasawwuf Kontroversial
Tetapi gagasan-gagasan tasawufnya yang kontroversial sering membuat orang mengecamnya.

Misalnya pendapatnya mengenai keadaan “mabuk” dalam rangka mencintai Allah – acapkali menimbulkan salah pengertian. Jangan salah paham, yang dimaksud dengan “Mabuk” bukanlah mabuk kerena kebanyakan minum Khamer (minuman keras), melainkan keadaan mental ketika Abu Yazid sedang mengalami ekstasi yang ia sebut Fana alias “Lebur” (dengan Allah). Dalam keadaan seperti itu bicaranya terkadang tidak logis, sehingga bisa menimbulkan salah paham.

Dialah pula sufi pertama yang memperkenalkan istilah tasawuf yang disebut Fana, Baqa, Ittihad. Ajaran tasawufnya yang mengajarkan ketiga hal tersebut belum ada dalam pendangan para sufi sebelumnya. Cara pandangnya sangat berbeda dengan sufi lain, misalnya Junaid al-Bagdadi. Itu sebabnya banyak kritik terhadap ajaran tasawuf Abu Yazid. Kritik keras diantaranya datang dari sufi besar at-Taftazani, yang mengatakan bahwa Abu Yazid terlalu berlebih-lebihan dalam menyatakan Syatahat, ekspresi yang dianggap aneh pada saat mengalami Fana. Misalnya kalimat

“Anallah” (akulah Tuhan) yang di ucapkan berkali-kali.

Ajaran tentang Fana, Baqa, dan Ittihad, merupakan tiga aspek dari pengalaman spritual yang terjadi setelah tingkat tertinggi yang dicapai oleh seorang sufi, yaitu Makrifat (mengenal Allah). Yang dimaksud dengan Fana ialah lenyapnya kesadaran tentang alam, termasuk tentang diri sendiri. Kemanapun ia menghadap, yang ada di mata hatinya hanyalah Allah. Hanya yang berada dalam kesadaran. Selain Allah lenyap dari kesadaran. Karena Fana itulah, terjadilah Baqa, kesadaran tentang selain Allah Fana atau sirna, lenyap, tetapi kesadaran tentang Allah menjadi Baqa alias abadi, terus berlangsung. Sedangkan Ittihad ialah keadaan ketika seorang sufi tenggelam dalam lautan sifat-sifat ketuhanan.

Meski begitu ajaran tasawufnya sangat memperhatikan syariat dan keteladanan Rasulullah SAW. Hal itu tampak misalnya ketika ia menyampaikan salah satu nasehatnya. “Kalau engkau lihat seseorang sanggup melakukan pekerjaan keramat seperti duduk bersila di udara, janganlah terpedaya olehnya. Perhatikan apakah ia melaksanakan perintah, menjauhi larangan dan menjaga batas-batas syariat.”

Dengarkan pula komentarnya ketika ia menyaksikan orang yang meludah ke arah kiblat di masjid (yang berarti melanggar sunah Rasul), padahal ia dikenal sebagai Zahid, yaitu orang yang lebih mementingkan kehidupan akherat. Katanya, “Orang itu tidak menjaga satu adab dari adab-adab Rasulullah. Kalau ia berbuat seperti itu, bagaimana dakwahnya dapat dipercaya?” Abu Yazid memang mengutamakan akhlak, yang niscaya sangat berpengaruh terhadap kehidupan rohaniah seseorang.

Ketika ia ditanya oleh seseorang, “Apa yang terbaik bagi manusia dalam kehidupan ini?”

“Watak qana’ah,” jawabnya.
“Kalau itu tidak ada?”
“Tubuh yang kuat.”
“Dan kalau itupun tidak ada?”
“Telinga yang penuh perhatian.”
“Dan tanpa itu?”
“Hati yang mengetahui.”
“Dan tanpa itu?”
“Mata yang melihat.”
“Dan tanpa itu?”
“Kematian mendadak.”

Abu Yazid membutuhkan waktu 12 tahun penuh untuk tiba di Mekkah. Itu karena di setiap tempat ibadah yang ia lalui, ia selalu membentangkan sajadahnya untuk mendirikan shalat sunnah dua rakaat.

Akhirnya ia sampai di Ka’bah. Tapi tahun itu ia tidak pergi ke Madinah. “Tidaklah pantas menjadikan kunjungan ke Madinah sebagai sekedar bagian dari kunjunganku kali ini,” ia menjelaskan. “Aku akan mengenakan pakaian haji tersendiri, bukan yang kupakai saat ini, untuk kunjunganku ke Madinah.”

Tahun berikutnya ia kembali mengenakan pakaian haji tersendiri. Di suatu kota ia berpapasan dengan sekelompok besar orang yang kemudian menjadi muridnya. Ketika ia pergi, orang-orang itu mengikutinya.

“Siapa mereka,” tanyanya sambil menengok kebelakang.

Terdengar jawaban, “Mereka ingin menemanimu.”

“Ya Allah,” pekik Abu Yazid. “Aku mohon pada-Mu, jangan jadikan aku selubung antara para hamba-Mu dan diri-Mu.”

Lalu, dengan tujuan menghapus kecintaan orang-orang itu padanya dan agar dirinya tidak menjadi penghalang di jalan mereka menuju Allah. Setelah shalat subuh, Abu Yazid memandang mereka dan berkata. “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku.”

“Dia sudah gila,” pekik orang-orang itu, dan mereka pun pergi meninggalkan Abu Yazid.Abu Yazid meneruskan perjalanan, dan ia menemukan tendkorak yang bertuliskan: “Tuli, Bisu, dan Buta, maka mereka tidak mengerti.”

Ia memungut tengkorak itu, sanmbil menangis ia menciuminya. “Tampaknya ini kepala seseorang yang dibinasakan Allah, karena ia tidak memiliki telinga untuk mendengar suara abadi, tidak memiliki mata untuk melihat keindahan abadi, tidak memiliki lidah untuk mengagungkan kebesaran Allah, tidak memiliki akal untuk memahami sedikit saja pengetahuan hakekat Allah. Ayat ini berbicara tentangnya.”

Suatu kali Abu Yazid bepergian dengan membawa seekor unta. Ia menaruh pelana dan perbekalannya di punggung unta itu.

 “Unta kecil yang malang, sungguh berat beban yang dibawanya,” pekik seseorang, “Sungguh kejam.”

Mendengar orang itu berkata demikian terus-menerus, Abu Yazid akhirnya menjawab, “Anak muda, bukan unta kecil ini yang membawa beban.”

Anak muda itu melihat punggung unta Abu Yazid. Ia melihat bahwa perbekalan Abu Yazid melayang di atas punggung unta itu, dan unta itu tidak terbebani sedikit pun.

“Kemuliaan atas Allah, sungguh menakjubkan!” teriak anak muda itu.

“Jika aku menyembunyikan kebenaran tentang diriku, engkau mencela,” kata Abu Yazid. “Namun jika aku memperlihatkannya, engkau tidak mampu memikulnya, lantas aku harus bagaimana?”

Mi’rajnya Abu Yazid
Ia mengisahkan tentang Mi’rajnya sebagai berikut:

Aku memandang Allah dengan mata keyakinan setelah Dia mengangkatku ke derajat kemerdekaan dari semua makhluk dan Dia memberikan pencerahan kepadaku dengan cahaya-Nya, menyingkapkan rahasia-rahasia-Nya yang menakjubkan dan memanifestasikan kebesaran ke-Dia-an-Nya. Aku memandang diriku sendiri, dan merenungkan dalam-dalam rahasia-rahasia dan sifat-sifatku. Cahayaku adalah kegelapan di sisi cahaya-Nya. Kebesaranku menyusut menjadi keburukan di sisi kebesaran-Nya. Kemuliayaanku hanyalah kesombongan disisi kemuliaan-Nya. Milik-Nya lah segala kesucian, dan milikku lah segala kekotoran.

Saat aku memandang lagi, aku melihat keberadaanku berasal dari cahaya-Nya. Aku sadar bahwa kebesaran dan kemuliaanku berasal dari kebesaran dan kemuliaan-Nya. Apa saja yang aku lakukan, aku lakukan dengan kemampuan yang berasal dari kemahakuasaan-Nya. Apapun yang dilihat oleh mata tubuh fisikku, dilihat melalui-Nya. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Semua ibadahku merupakan karunia-Nya, bukan dariku, namun aku menyangka bahwa akulah yang menyembah-Nya

Aku merenung, “ Ya Allah, apa ini?”

Dia berkata, “Aku, dan bukan selain-Ku.”

Lalu Dia menjahit mataku, agar tidak menjadi alat untuk melihat, agar aku tidak melihat. Kemudian Dia mengajarkan pokok permasalahan, yakni ke-Dia-an-Nya pada pandangan mataku. Dia mencerabut aku dari keberadaanku, dan membuatku abadi melalui keabadian-Nya. Dia menyingkapkan ke-Esa-an-Nya, tak terdesak oleh keberadaanku.

Di sana aku terdiam sejenak, aku menemukan ketenangan. Aku menutup telinga penentangan, aku menarik lidah hasrat ke dalam tenggorok kekecewaan. Aku mengabaikan pengetahuan yang dipelajari, dan mengenyahkan campur tangan jiwa yang mengajak kepada keburukan. Aku tetap diam sejenak, tanpa alat dan perantara apapun, dan dengan tangan kesucian-Nya aku menyapu bid’ah dari jalan-jalan akar prinsip-prinsip.

Allah mengasihiku, Dia menganugrahiku pengetahuan hakiki, dan memasang lidah kebaikan-Nya kedalam tenggorokanku. Dia menciptakan mataku dari cahaya-Nya, maka aku melihat semua makhluk melalui-Nya. Dengan lidah kebaikan-Nya aku berkomunikasi dengan-Nya, dari pengetahuan-Nya aku memperoleh pengetahuan, dan dengan cahaya-Nya aku memandang-Nya.

Dia berkata, “Wahai engkau yang semua tanpa semua maupun dengan semua, tanpa kelengkapan maupun dengan kelengkapan!”

Aku berkata, “Ya Allah, jangan biarkan aku terpedaya oleh hal ini, jangan biarkan aku berpuas diri dengan keberadaanku, tidak merindukan-Mu. Lebih baik Engkau menjadi milikku tanpaku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa-Mu. Lebih baik aku berbicara pada-Mu melalui-Mu, daripada aku berbicara pada diriku sendiri tanpa-Mu.”

Aku berkata, “Aku telah menyatakan keimananku dan hatiku percaya dengan teguh.”Dia memberi pencerahan padaku, dan menghantarkanku keluar dari kegelapan jiwa jasmani dan pelanggaran-pelanggaran watak badaniah. Aku sadar bahwa melalui-Nya lah aku hidup, dank arena karunia-Nya aku dapat menghamparkan permadani kebahagiaan dalam hatiku.

Aku mengatakan, “Aku menginginkan-Mu, karena Engkau lebih baik daripada karunia, lebih besar daripada kedermawanan, dan melalui-Mu aku telah menemukan kepuasan dalam diri-Mu. Jkarena Engkau milikku, aku telah menggulung lembaran karunia dan kedermawanan. Jangan cegah aku dari-Mu, dan jangan tawarkan aku apa yang rendah di hadapan-Mu.”

Melihat kelemahan dan kebodohanku, Dia memperkuatku dengan kekuatan-Nya dan menghiasiku dengan perhiasan-Nya.

Dia menyematkan mahkota kemurahan hati di kepalaku, dan membukakan pintu istana ke-Esa-an bagiku. Ketika Dia melihat bahwa sifat-sifatku menjadi hampa di hadapan-Nya, Dia menganugerahiku sebuah nama dari kehadiran-Nya, dan memanggilku dengan ke-Esa-an-Nya.

Lalu Dia membuatku merasakan tikaman kecemburuan dan membangkitkanku lagi. Aku bangkit dalam kesucian dari tungku ujian. Dia berkehendak untuk menunjukkan bahwa bila tanpa kasih saying-Nya, semua makhluk ini tidak akan pernah menemukan ketenangan, dan bahwa bila tidak karena cinta-Nya, niscaya kemahakuasaan-Nya dapat menimbulkan kerusakan pada segala hal.

Aku menncari dalam padang belantara yang luas, tak ada permainan yang aku lihat yang lebih baik daripada kefakiran yang amat sangat, tak ada sesuatu yang aku ketahui yang lebih baik daripada ketidakmampuan absolut. Tak ada lampu yang aku lihat lebih terang daripada diam, dan tak ada kata-kata yang aku dengar yang lebih baik daripada kebungkaman. Aku menjadi penghuni istana kesunyian, aku mengenakan pakaian ketabahan, hingga segala persoalan mencapai inti mereka.

Dia membuka celah kelegaan dalam dadaku yang kelam, dan memberiku lidah kebebasan dan penyatuan. Maka kini aki memiliki lidah, hati dan mata karya Ilahi.

Dengan pertolongan-Nya aku bicara, dengan kekuatan-Nya aku menggenggam.

Lidahku adalah lidah penyatuan, jiwaku adalah jiwa pembebasan. Bukanlah dariku aku bicara, aku hanya penyampai belaka, juga bukan melaluiku aku bicara, aku hanya pengingat belaka. Dia menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya. Aku tiada lain hanya penerjemah belaka. Kenyataannya, Dialah yang berbicara, bukan aku.

“Aku tidak ingin melihat makhluk-Mu, namun jika Engkau berkehendak untuk menghadirkanku dihadapan para makhluk-Mu, aku tidak akan menentang-Mu, letakkan aku dalam ke-Esa-an-Mu, sehingga ketika makhluk-makhluk-Mu melihatku dan memandang karya-Mu, mereka akan melihat yang mencipta, dan aku tidak berada disana sama sekali”

Dia mengabulkan permohonanku, dan menyemaikan mahkota kemurahan hati dikepalaku, dan membuatku melampaui maqam watak badaniahku.

Ia juga mengisahkan: ketika aku mencapai penyatuan, adan itulah saat pertama kali aku merasakan yang Esa, selama bertahun-tahun aku berlari dalam lembah itu dengan kaki pemahaman, hingga aku menjadi seekor burung yang tubuhnya adalah ketunggalan, yang sayapnya adalah.keabadian, aku terus terbang ke cakrawala ke-tanpasyarat-an. Saat aku telah lenyap dari segala yang diciptakan.

“Ya Allah, apapun yang telah aku lihat, segalanya aku.tiada jalan bagiku menuju-Mu, selama masih ada “aku” yang tersisa, tak ada pelampauan kedirianku bagiku. Apa yang harus aku lakukan?”

“Untuk menghilangkan ke-Aku-anmu, ikutilah kekasih-Ku, Muhammad saw, urapi matamu dengan debu kakinya, dan teruslah mengikutinya.”

Yahya bin Mu’adz mengatakan dalam suratnya kepada Abu Yazid, “Apa pendapatmu tentang seorang yang telah meminum segelas anggur, dan menjadi mabuk dari sartu keabadian ke keabadian lannya?”

Abu Yazid membalas suratnya, “Aku tidak tahu tentang hal itu, yang kutahu, ini adalah seorang yang seharian penuh, siang dan malam, menguras seluruh lautan dari satu keabadian ke keabadian lainnya dan meminta lagi.”

Yahya bin mu’adz menulis lagi, “Aku punya satu rahasia. Surga adalah tempat pertemuan kita, di sana, di bawah naungan pohon Tuba, aku akan memberitahukannya kepadamu.”

Bersama dengan suratnya, Yahya juga mengirimkan sepotong roti yang bertuliskan: |Seorang guru spiritual harus mengambil manfaat roti ini, karena adonannya aku campur dengan air zamzam.”

Dalam surat balasannya, Abu yazid berkata, “Mengenai tempat pertemuan yang engkau sebutkan, dengan perhatian-Nya padaku, bahkan sekarang aku tengah menikmati surga dan naungan pohon Tuba. Sedangkan mengenai rotimu, aku tidak dapat memakannya, engkau telah mengatakan dengan air apa engkau mengadoninya, namun engkau tidak mengatakan benih apa yang engkau taburkan.”

Akhirnya Yahya memendam kerinduan yang amat sangat untuk bertemu dengan Abu Yazid. Lalu ia datang berkunjung dan tiba pada waktu salat malam (magrib dan isya’).

“Aku tidak boleh mengganggu sang syekh,” kata Yahya dalam hati. “Namun aku juga tidak dapat menahan kerinduanku hingga pagi. Kemudian aku melanjutkan perjalananku menuju padang pasir dimana Abu yazid berada, sebagaimana dikatakan orang-orang kepadaku. Aku melihat sang syekh mendirikan shalat malam, kemudian hingga keesokan harinya ia berdiri di ujung jari-jari kakinya. Aku berdiri mematung diliputi rasa kagum, dan sepanjang malam aku mendengar ia sibuk berdoa. Saat fajar tiba, ia berujar, “Aku berlindung pada-Mu dari meinta maqam ini kepada-Mu.”

Lalu Yahya memulihkan dirinya dari kekagumannya, dan memberi salam kepada Abu Yazid, kemudian bertanya tentang apa yang telah terjadi padanya semalam.

“Lebih dari 20 maqam disebutkan satu persatu kepadaku,” jawab Abu yazid. “Namun aku tidak menginginkan satu pun, karena semua maqam itu adalah maqam penghijaban.”

“Wahai syekh, mengapa anda tidak meminta makrifat kepada Allah, karena Dia adalah raja dari segala raja dan telah berfirman, “Mintalah apa saja yang kalian kehendaki?”

“Diamlah,” tujas Abu Yazid. “Aku cemburu kepada diriku sendiri karena mengenal-Nya, sebab aku ingin tidak seorangpun mengenal-Nya kecuali Dia. Dimana pengetahuan-Nya, apa urusanku, sehingga aku harus campur tangan? Wahai Yahya, sudah merupakan kehendak-Nya bahwa hanya Dia, dan tidak selain-Nya, yang mampu mengenal-Nya.”

“Demi keagungan Allah,” tutur Yahya, “Berilah aku sedikit saja karunia yang engkau dapatkan semalam.”

Abu Yazid mengatakan, “Jika engkau diberi keterpilihan Adam, kekudusan Jibril, persahabatan Ibrahim, kerinduan Musa, kesucian Isa, dan cintanya Rasulullah Muhammad saw, niscaya engkau mesih belum puas juga. Engkau akan terus mencari lebih, melampaui segala hal. Tetapkan pandanganmu ke atas, dan jangan pernah turun, karena apapun yang engkau turun kepadanya, dengannyalah engkau terhijabi.”
***
    Diriwayatkan, ada seorang Asket yang merupakan seorang wali besar Kota Bistham. Ia memiliki banyak murid dan pengagum, namun ia mesih selalu menghadiri majelis Abu Yazid. Ia menyimak semua perkataan

Abu Yazid, dan duduk bersama para murid Abu Yazid.

Suatu hari ia berkata kepada Abu Yazid, “Wahai syekh, hari ini telah genap 30 tahun aku berpuasa. Di malam hari aku berpuasa dan mendirikan shalat malam, jadi aku tidak pernah tidur sama sekali. Namun tetap saja aku tidak menemukan dalam diriku jejak pengetahuan yang engkau miliki. Aku meyakini pengetahuan ini, dan aku mencintai pengajaran ini.”

Abu Yazid berkata, seandainya selama 300 tahun engkau berpuasa di siang hari dan shalat di malam hari, niscaya engkau tetap tidak akan pernah memahami walau hanya secuil dari pengetahuan ini.”

“Mengapa,” tanya si murid Abu Yazid itu.

“Karena engkau terhijab oleh dirimu sendiri,” jawab Abu Yazid.

“Lalu apa obatnya?” Tanya lelaki itu.

“Engkau takkan pernah menerimanya,” jawab Abu Yazid.

“Aku akan menerimanya,” tukas lelaki itu. “Katakanlah padaku, agar aku dapat melakukan apa yang engkau resepkan.”

“Baiklah,” kata Abu Yazid. “Saat ini juga, pergi dan cukurlah janggut serta rambutmu. Tanggalkanlah pakaian yang engkau kenakan kini, dan pakailah celana wol sebatas pinggangmu, gantungkan sekantong kacang di lehermu, kemudian pergilah ke pasar. Kumpulkanlah anak-anak sebanyak yang engkau mampu, katakana pada mereka, “Aku akan memberikan kacang kepada siapa saja yang mau menamparku,” lalu pergilah ke seluruh penjuru kota dan lakukanlah hal yang sama, terutama pergilah ke tempat-tempat dimana orang-orang mengenalmu. Itulah obat bagimu.”

Kemuliaan atas Allah !, tiada Tuhan selain Allah!” pekik  lelaki itu mendengar penjelasan Abu Yazid.

“Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu, maka ia menjadi seorang muslim,” tukas Abu Yazid. “Namun dengan mengucapkan kata-kata yang sama, engkau telah menjadi seorang polities.”

“Bagaimana bisa begitu?” tanya lelaki itu.

“Karena engkau menganggap dirimu terlalu besar untuk melakukan apa yang telah aku katakana,” jawab Abu Yazid. “Maka dengan begitu engkau telah menjadi seorang polities. Engkau menggunakan kalimat tadi untuk mengungkapkan kebesaran dirimu, bukan untuk memuliakan Allah.”

“Aku tak dapat melakukannya,” protes lelaki itu, “Berilah aku petunjuk yang lain.”

“Obatnya adalah apa yang telah aku katakana,” tukas Abu Yazid.

Aku tak dapat melakukannya,” kata lelaki itu.

“Bukanlah telah aku katakana bahwa engkau tidak akan mau melakukannya, bahwa engkau tidak akan pernah mematuhiku,” tutur Abu Yazid.

Selama lima tahun aku menjadi cermin bagi diriku sendiri, dan aku menggosok cermin itu dengan ibadah dan kepatuhan mutlak kepada Allah. Setelah itu, aku memandang cerminku sendiri selama satu tahun, aku melihat sebuah “korset kafir”  angan-angan, main-main dan egoisme, mengikat pinggangku, karena aku mengandalkan ibadah dan kepatuhanku sendiri serta puas dengan perilakuku sendiri.

Selama lima tahun berikutnya, aku bekerja keras hingga korset itu menghilang dan aku menjadi seorang muslim sekali lagi. Aku memandang semua makhluk, dan melihat mereka semua mati. Aku bertakbir empat kali untuk mereka, dan kembali dari upacara penguburan mereka tanpa berdesakan dengan makhluk-makhluk Allah. Dengan pertolongan Allah, aku mencapai-Nya.

Setiap kali Abu Yazid tiba di pintu sebuah masjid, ia akan berdiri sejenak dan menangis.




“Mengapa engkau melakukan ha “Aku merasa diriku bagai seorang wanita yang tengah haid, yang malu untuk memasuki masjid dan takut mengotorinya.” Jawabnya.

Pir Umar mengisahkan bahwa ketika Abu Yazid hendak mengasingkan diri untuk beribadah, ia akan masuk kerumahnya dan menutup rapat-rapat semua celah yang ada. “Aku takut ada suara-suara atau kebisingan yang akan menggangguku.” Katanya.

Tentu saja perkataannya itu hanya dalih. Isa al-Bisthami mengisahkan, “Aku bergaul dengannya selama 13 tahun dan aku tidak pernah mendengar mengucapkan satu patah katapun. Ia meletakkan kepala di atas lututnya, begitulah kebiasaannya, sesekali ia mengangkat kepalanya, mendesah, lalu kembali beribadah.”

Sahlagi juga mengisahkan bahwa memang begituylah kebiasaan Abu Yazid saat ia tengah berada dalam keadaan “menyusut” sebaliknya, di hari-hari ia tengah berada dalam keadaan “mengembang”, setiap orang merasakan manfaat yang besar dari nasehatnya.

Suatu ketika,  saat ia mengasingkan diri, ia berkata, “Kemuliaan atasku, betapa besar martabatku”. Ketika ia kembali menjadi dirinya sendiri, para muridnya memberitahukan bahwa ia telah berkata demikian. Ia menjawab, “Allah adalah musuhmu, dan Abu Yazid juga musuhmu. Jika aku berbicara seperti itu lagi, potonglah-potonglah tubuhku,” kemudiaa ia memberi setiap muridnya sebilah pisau seraya berkata, “Jika kata-kata itu meluncur dari mulutku lagi, bunuhlah aku dengan pisau ini.”

Ternyata perkataan itu meluncur lagi dari mulut Abu Yazid. Seluruh ruangan terasa sesak dipenuhi oleh Abu Yazid (yang membesar). Agar tidak terhimpit, para sahabatnya menarik keluar batu bata dari dinding, dan masing-masing menusuknya dengan pisau. Pisau-pisau itu menusuk tubuh Abu Tazid seperti menusuk air, tak satupun tusukan yang dapat melukainya. Setelah beberapa saat, bentuk Abu Yazid kembali seperti semula, kemudian menyusut, hingga ia tampak seperti burung pipit, duduk di mihrab. Para sahabatnya menghampirinya dan mengatakan apa yang terjadi padanya. “Ini adalah Abu Yazid, ia yang kini kalian lihat,” ujarnya. “Yang tadi bukanlah Abu Yazid.”

Suatu hari, seorang lelaki yang tidak mempercayai Abu yazid mendatangi untuk mengujinya. “Jelaskan padaku jawaban dari masalah ini,” katanya. Abu Yazid menangkap gelagat ketidak percayaan lelaki itu. Abu Yazid menjawab pertanyaan lelaki itu, “Di gunung itu ada sebuah gua, di gua itu ada seorang sahabatku, mintalah jawaban darinya.”

Lelaki itupun bergegas menuju gua yang dimaksud, disana ia melihat seekor naga yang sangat besar dan mengerikan. Seketika ia jatuh pingsan. Pada saat siuman. Ia burur-buru pergi dari mulut gua itu dan meninggalkan sepatunya yang terlepas disana. Ia kembali menemui Abu Yazid, bersimpuh dihadapannya dan bertobat.
Abu Yazid berkata kepada lelaki itu, “Engkau tidak mampu menjaga sepatumu, hanya karena rasa takutmu kepada makhluk. Lalu, dalam keterpesonaan kepada Allah, bagaimana engkau bisa menjaga “Penyingkapan” yang engkau cari dalam ketidakpercayaanmu?”

Ada seorang lelaki mendatangi kediaman Abu Yazid dan memanggilnya.

“Siapa yang engkau cari,” tanya Abu Yazid.

“Abu Yazid,” jawab lelaki itu.

“Lelaki yang malang!” kata Abu Yazid, aku telah mencari Abu Yazid selama 30 tahun, namun jejak dan tanda-tandanya pun tidak kutemukan.”

Kejadian ini dilaporkan kepada Dzun Nun. Ia berkomentar, “Allah mengasihi saudaraku Abu Yazid! Ia hilang ditemani oleh seorang yang hilang dalam Allah.”

Betapa sempurnanya peleburan diri Abu Yazid kepada Allah. Sampai-sampai setiap saat disapa oleh seorang muridnya yang selalu bersamanya selama 20 tahun, ia akan berkata, “Anakku, siapa namamu?”

“Guruku, anda mengolok-olokku, telah genap 20 tahun aku melayani guru, namun masih saja setiap hari guru menanyakan namaku,” kata si murid.

“Anakku,” jawab Abu Yazid, “Aku tidak mengolok-olokmu, namun nama-Nya telah menguasai hatiku, dan telah menghapus semua nama lain. Setiap nama yang baru aku ketahui, pasti segera hilang dari ingatanku, dan aku selalu dirasuki oleh keinginan, yaitu keinginanku adalah tidak memiliki keinginan.”

Saat menjelang ajalnya, ia menuju mihran dan mengenakan korset, ia mengenakan jubah dan penutup kepalanya secara terbalik.

Kemudian berkata:

“Ya Allah, aku tidak membesar-besarkan disiplin yang telah kujalani hampir seumur hidupku. Aku tidak memamerkan seluruh shalat malamku. Aku tidak menggembar-gemborkan puasa yang telah kulakukah hampir sepanjang hidupku. Aku tidak menghitung-hitung bacaan Qur’anku. Aku tidak membicarakan dan memamerkan pengalaman, doa-doa dan kedekatan spiritualku.

Engkau tahu bahwa aku tidak mengungkit-ungkit apapun, dan apa yang aku katakana sekarang ini tidaklah dimaksudkan untuk membesar-besarkannya, tidak juga karena aku tergantung padanya. Aku mengatakan semua ini karena aku malu atas apa yang telah aku lakukan. Engkau telah mengaruniaiku kemuliaan untuk melihat diriku sendiri mulia. Semuanya ini tidaklah berarti apa-apa, tiada bernilai.

Aku adalah seorang lelaki tua Turkistan berusia 70 tahun yang rambutnya telah memutih dalam kekafiran. Aku datang dari gurun Pasir sambil memekik, “Tangri… Tangri…” baru sekarang aku belajar mengatakan, “Allah… Allah…” baru sekarang aku merobek korsetku. Baru sekarang aku melangkahkan kakiku ke lingkaran Islam. Baru sekarang aku gerakkan lidahku untuk melafalkan kalimat syahadat.

Semua yang Engkau lakukan, Engkau lakukan tanpa sebab, penerimaan-Mu bukan disebabkan kepatuhan hamba-Mu, dan penolakan-Mu bukan disebabkan pembangkangan hamba-Mu. Semua yang kulakukan tiada lain hanyalah debu. Segala yang berasal dariku yang tidak membuat-Mu ridla, Engkau maafkan. Dan Engkau menghapus debu pembangkangan dari diriku, karena aku sendiri telah menghapus debu anggapan bahwa aku telah mematuhi-Mu.


Penuh Teka-teki
Abu Yazid juga mempunyai pandangan tersendiri tentang sufi. Katanya, “Sufi adalah seorang yang tangan kanannya memegang kitabullah, tangan kirinya memegang Sunah Rasul, salah satu matanya memandang ke Surga, mata yang lain melihat ke neraka. Ia mengenakan sarung dunia dan mantel akhirat sambil berseru, Labbaik ya Allah – Aku datang memenuhi panggilan-Mu.

Belakangan para ahli sangat terkesan terhadap penampilan Abu Yazid, sementara keperibadian dan ucapan-ucapannya penuh dengan teka-teki. Peneliti sufi asal Ingris, AJ.Arberry, menjulukinya sebagai First of the intoxicated sufis atau sufi pertama yang mabuk kepayang. Sedangkan Helmut Ritter, R.C. Zaehner dan RA. Nicolson menyatakan, Abu Yazid adalah orang yang paling paham tentang Fana. Bahkan sufi dan penyair besar Jalaluddin Rumi juga sangat mengaguminya.

Dalam puisi Matsnawi (kimpulan puisi) nya, Rumi menulis betapa suatu kali Abu Yazid diprotes oleh murid-muridnya, dengan mengatakan bahwa Abu Yazid Kafir. Mereka sempat menghunus pedang. Tetapi pedang itu malah berbalik menusuk para murid itu sendiri. Sementara filsuf dan pujangga Pakistan, Muhammad Iqbal, ketika menulis buku puisi Javid Nama, sangat terinspirasi oleh puisi Abu Yazid.

Peneliti sufi yang lain, Anemmare Schimmel, menulis, “Sebagai seorang sufi, ia menonjol sendirian di kancah pemikiran tasawuf Iran masa awal. Pemikirannya yang paradoksal menawarkan makna baru, namun tidak bisa sepenuhnya dipahami kecuali bila pembaca mampu berbagi dalam pengalaman mistik. Atau sebaliknya, pembaca malah berbalik menuduh sebaliknya, pembaca malah berbalik menuduh bahwa paham Abu Yazid tipuan belaka..”
Apa pun pengalaman mistikus Ba Yazid (panggilan akrab Abu Yazid), bahwa kepribadiannya telah mengilhami para sastrawan sufi di zama sesudahnya. Bahkan namanya sempat pula dipuja dalam berbagai puisi. Prestasi ini hanya bisa ditandingi oleh sufi bear lainnya seperti Al-Hallaj, yang kemiripan ajarannya sering dikaitkan dengan Ba Yazid. Cuma sayang, ia tidak meninggalkan karya tulis. Ajaran dan pandangannya hanya dapat dibaca pada catatan murid-muridnya, atau para sufi yang pernah berjumpa dengannya.

Begitu besar pengaruh pribadi dan ajaran Ba Yazid, sehingga sampai kini pun ia masih di puja orang. dan makamnya selalu ramai diziarahi. Abu Yazid al-Bisthami wafat pada tahun 875 M bertepatan dengan 261 H, dan dimakamkan di kampung halamannya, Bistham.

Tentang Manusia Sejati
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari Ba Yazid. Kisah-kisah yang unik banyak ditulis oleh para ulama klasik. Misalnya dalam kitab Tsabaqatush Shufiyah karya As-Sulami, Hilyatul Awliya, karya Abu Nu’aim, Kasyful Mahjub, karya Al-Hujwiri, Kitabul al-Luma, karya As-Sarraj atau Tadzkirul Awliya, karya Fariduddin Aththar.

Berikut beberapa cerita tentang Abu Yazid, suatu hari Dzun Nun al-Misri mengirimkan selembar sajadah kepada Abu Yazid, tetapi Abu Yazid mengembalikannya, sambil berpesan, “Apa perlunya selembar sejadah? Kirimkan saja sebuah bantal untuk bersandar.” Maksudnya, ingin mengatakan sudah berhasil mencapai tujuan. Maka, Dzun Nun pun mengirimkan sebuah bantal. Tetapi bantal itu pun dikembalikan, karena ia telah bertobat dan tubuhnya tinggal kulit pembalut tulang. “Manusia yang berbantalkan karunia dan kasih Allah tidak membutuhkan bantal dari salah seorang diantara hambanya,” kata Ba Yazid.

Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan disebuah pekuburan, suatu malam ketika pulang dari makam, ia berpapasan dengan seorang pemuda yang memainkan kecapi. “Semoga Allah melindungi kita!” kata Abu Yazid. Mendengar itu si pemuda memukulkan kecapi kekepala Abu Yazid dengan keras. Ternyata pemuda itu tengah mabuk. Dengan bercucuran darah Abu Yazid pulang.

Ketika hari telah siang, dipanggilnya salah seorang muridnya, “Berapakah harga sebuah Kecapi?” tanyanya. Si murid memberitahukan harganya, dengan secarik kain dibungkusnya sejumlah uang ditambah beberapa kue lalu dikirimkannya kepada si pemuda. “Sampaikanlah kepadanya, Abu Yazid minta maaf. Katakan pula, tadi malam ia menyerang Abu Yazid dengan Kecapinya sehingga kecapi itu pecah. Sebagai gantinya terimalah uang  ini dan belilah kecapi baru. Sedangkan kue-kue yang manis untuk penawar duka hatimu karena kecapimu pecah.” Ketika si pemuda itu menyadari perbuatannya, bersama pemuda-pemuda lain ia menemui Abu Yazid untuk minta maaf. Hanya kepada Allah
    Suatu saat, Abu Yazid bercerita, Ketika aku sedang duduk, datanglah sebuah lamunan, bahwa aku adalah Syekh dan tokoh suci zaman ini. Tapi begitu hal itu terdengar dalam benak, aku segera sadar bahwa aku telah melakukan dosa besar.lalu aku bangkit dan berangkat ke Khurasan, di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat sebelum

Allah mengutus seseorang untuk membukakan diriku. Tiga hari tiga malam aku tinggal di sana. Pada hari keempat aku lihat seseorang yang bermata satu yang menunggang seekor unta datang kepadaku. Aku lihat kebesaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar Unta berhenti, unta itu pun menekuk kakinya di depanku, dan lelaki bermata satu itu memandangku.

“Sejauh ini kau memanggilku hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci, serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?” katanya kepadaku.

Aku jatuh lunglai, kemudian bertanya kepada orang itu, “Darimanakah engkau?”

“Sejak engkau bersumpah itu, telah beribu-ribu mil jarak aku tempuh. Berhati-hatilah,

Abu Yazid, jagalah hatimu!” ia lalu berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu.
Suatu malam Abu Yazid merasa shalatnya tidak khusuk. Maka katanya, “Carilah kalau-kalau ada barang-barang berhaga di rumah ini,” murid-muridnya pun mencari-cari di seantero rumah, lalu menemukan setengah tandan anggur, “Bawalah anggur itu, dan berikanlah kepada orang lain, rumahku bukan toko buah-buahan,” kata Abu Yazid. Setelah itu barulah ia dapat melakukan salat dengan khusuk.

Pada suatu hari beberapa orang bertanya kepada Abu Yazid, “Engkau dapat berjalan di atas air?” Abu Yazid pun menjawab, Sepotong kayu juga dapat melakukannya.”

Mereka bertanya lagi, “Engkau dapat pergi ke Mekkah dalam semalam?” maka jawab Abu Yazid,setiap orang sakit dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam.”

Merasa penasaran, mereka bertanya lagi, “Jika demikian, apakah yang dilakukan oleh manusia sejati?” Abu Yazid menjawab. “Manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar